Orang-orang menyebutku gila. Aku tak peduli. Entah apa alasannya, aku sendiri tidak tahu. Aku adalah aku. Titik. Orang gila cumalah sebutan. Nalarku masih lurus. Perasaanku masih tajam. Kepekaanku masih hidup. Segala kapasitas sebagai manusia masih kumiliki dan berjalan normal. Dan aku bahagia karena kemanusiaanku. Aku senang menjadi diriku sendiri. Manusia merdeka. Manusia bebas yang merangkai kekinian dengan keyakinan menuju masa depan gemilang. Meskipun…. Ya meskipun…. Hmmm selalu ada meskipun dalam hidup ini. Tapi aku tetap bergembira dengan meskipun. Ya… meskipun aku hanya gelandangan miskin di
Dulu aku lahir dan dibesarkan dalam kemiskinan. Sekarangpun masih hidup dalam kemiskinan. Orangtuaku mati berkubang kemiskinan. Kuterima warisan kemiskinan dan kegelandangan, justeru di
Aku tidak punya rumah di belantara gedung bertingkat di
Hari ini hari ketiga di bulan pertama di tahun baru. Matahari tersenyum malu-malu di balik awan tipis. Aku menggelandang di piazza depan basilika besar. Tak kuhiraukan orang-orang yang berseliweran.
Sementara itu orang-orang di sekitarku heran melihatku berbicara seorang diri dengan wajah menghadap langit. Maka semakin serulah bibir-bibir suci itu menggaungkan cap orang gila padaku.
Aku tak peduli dengan mereka. Aku sedang bercakap dengan saudara Tersalib. “Terima kasih atas semua ajaranmu, tapi terlebih teladanmu melaksanakan apa yang kau ajarkan, Saudaraku.. Aku coba menirumu meskipun walaupun kendatipun tidak sempurna. Aku hidup miskin dan menggelandang dari tempat ke tempat dan kerap tak mampu melaksanakan apa yang kauajarkan. Oya, terima kasih juga atas doa yang kauajarkan. Maukah kau berdoa bersamaku sekarang?”
Aku lalu merentangkan tanganku menjangkau orang di kiri kananku, tapi semua serentak menjauh dan memandangku heran bercampur takut. Ah, sudahlah. Orang-orang berbibir suci ini tak mau diajak berdoa bersama Bapa kami sambil bergandengan tangan. Biarlah aku berdoa saja dengan saudara Tersalib. “Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah namamu. Datanglah kerajaanmu, jadilah kehendakmu di atas bumi seperti di dalam surga. Berilah kami rezeki pada hari ini, dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami. Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.”
Orang-orang menontonku berdoa. Mereka heran bahwa seorang gila bisa berdoa demikian lancarnya doa bapa kami.. Hmm... mereka keliru. Aku bukan orang gila. Aku waras seratus persen. Setidak-tidaknya menurut pandanganku sendiri aku ini orang waras yang sedang belajar beriman. Tapi sudahlah, daripada beperkara dengan orang-orang yang tidak mengerti ini, lebih baik aku cabut dari sini. Kubuat tanda salib, lalu kiss by pada saudara Tersalib. Dia tersenyum padaku dan mengangguk kecil.
Aku melangkah gontai menuju stasiun. Di sanapun terdapat begitu banyak manusia berseliweran.
Aku tersenyum geli melihat ketakutan mereka. Mereka orang-orang terpenjara dalam diri sendiri. Mereka tidak tahu bahwa orang yang takut menderita, menderita karena ketakutan. Maka aku coba menyapa dan tersenyum. Tapi justeru mereka menjauh dariku dan mendesiskan orang gila. Ya ampun, bibir-bibir cemas itu begitu takut akan diriku yang mencoba mendesiskan sebuah sapaan persaudaraan, sebuah jembatan komunikasi. Mereka
Maka kuberjalan lagi menuju gereja tempat saudaraku pengemis biasa duduk menanti sedekah dari para pemuja saudara Tuhan yang mau bermurah hati. Seperti biasa hanya sedikit yang diperoleh, karena sedikit sekali para pemuja saudara Tuhan yang mau bermurah hati seperti saudara Tuhan. Kusapa saudaraku pengemis dan kami berdua ngobrol ngalor ngidul menikmati hidup, tertawa terkekeh-kekeh bila ada hal yang lucu. Orang-orang yang lewat di depan gereja memandangi kami dengan heran. Aku bisa menduga mengapa mereka heran. Mungkin karena mereka melihat bagaimana si pengemis bisa begitu akrab dan berbicara ngalor ngidul bersama si orang gila.
Tapi kami tidak mempedulikan itu semua. Kami asyik bercerita ke
“Saudara Pengemis, aku lapar. Adakah padamu makanan?” tanyaku. Sambil tersenyum saudara pengemis membuka kantongnya dan memberiku sepotong pizza yang masih hangat. “Ini untukmu. Tadi aku beli dengan uang hasil mengemis. Kuingat kau, maka kusimpan sebagian untukmu, karena kutahu kau pasti datang padaku, karena kau sahabatku. Ini bagianmu, ambillah dan makanlah!” Kata-kata yang sama yang selalu terucap dari bibirnya kala kami bertemu dan kuminta makanan. Seperti biasa pula, aku berterima kasih padanya lalu kubuat tanda salib dan menyantap makananku dengan penuh syukur. Hemmm.. lezat sekali rasanya. Saat ini, terlaksanalah doaku bersama saudara Tersalib tadi. Rezeki secukupnya untukku pada hari ini. Terima kasih saudara Tuhan. Kau baik sekali. Kata batinku.
Sesudah itu aku pamit pada saudara pengemis. Dia tidak pernah bertanya ke mana aku pergi. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku berjalan dan terus berjalan. Hidupku adalah berjalan. Yang kubawa hanya kemiskinan dalam kegelandanganku. Aku tak punya apa-apa tapi kupunya segala. Semua saudaraku. Maka aku bahagia.
Matahari tenggelam di barat. Kegelapan tiba, serentak cahaya lampu menerangi seluruh
ku tersenyum damai. Kubuat tanda salib, lalu pulas ke alam mimpi sembari mendesis lirih, “Aku manusia merdeka.”***
Roma, 3 Januari 2009
---Siprianus Soleman Senda, biasa disapa Sipri Senda. Saya seorang peminat puisi dan cerpen, sekarang lagi tugas belajar di Fakultas Teologi Universitas Urbaniana Roma, Italia. Asal dari Kupang. Selama ini menulis puisi dan cerpen yang dipublikasikan di media lokal NTT seperti Pos Kupang, Dian, Carmelo dan buletin Keuskupan Agung Kupang Oemathonis.---
Sumber : www.kompas.com
Minggu, 18 Januari 2009
Orang Gila
Menu:
seCanGkiR TeH
Langganan:
Komentar (Atom)
.jpg)